Please Select Your Language Below

English French Russian Dutch Portuguese German Spain Italian Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
loading

Please, Bebaskan Aku!

Preview Jeruji Besi
Aku, seperti sesuatu yang ingin menari-nari diatas daun ganja. Takut jatuh, takut terpeleset, takut terlepas. Aku hanya boleh diam di tengah dan bergerak hanya sekadar untuk memastikan bahwa aku masih hidup. Tak bisa berlari kemana-mana, berjalan sesuka hati. Aku berada di balik jeruji besi, yang membatasiku pada ruangan 3 X 3 meter ini. Uhh!

Semua berawal saat aku kesal dengan sikap mama dan papa yang tak kunjung berhenti menulikan telingaku dan tetangga-tetanggaku. Ya ampun, setiap aku bangun pagi, rumah sudah seperti kapal pecah dan penuh barang pecah belah yang benar-benar pecah. Aku bosan terus mendengarkan argumen dan debat mereka. Dan aku harus pergi dari kapal pecah ini.


Pelarianku tak mungkin kemana-mana. Hanya sekadar menemukan ketentraman hidup sementara waktu. Tapi aku tak punya tujuan, siapa yang mau menampung anak malas dan tak terurus sepertiku? Pergi ke panti asuhan? Konyol! Apa aku harus berpura-pura dibuang jauh oleh orang tuaku? Ah tidak! Aku tak punya uang untuk menyewa kamar kost. Dan aku pun tak punya keluarga di daerah ini, dan satu-satunya jalan....rumah Meta.

Sedikit berharap, Mama Meta sangat mengerti Meta dan pasti akan bisa menjadi ibu yang baik untukku. Sebentar saja, sekadar menenangkan diri dan menormalkan kembali telingaku yang –kalau bisa- ingin ku lepas saat aku di rumah. Mmmbbb, 10 poin untuk tebakanku yang sempurna. Mama Meta tak bisa membiarkanku untuk tak menghabiskan porsi makan yang ada di piringku, yang aku tak pernah mendapatkannya dari mama. Mana mungkin mama memperhatikanku sampai seperti itu, ada makanan –atau bahan makanan yang bisa dimasak- saja mama tak pernah peduli.

Lebih aneh dari yang diperkirakan semua orang, mama pun tak acuh aku berangkat sekolah atau tidak, ada uang untuk aku bertahan hidup atau tidak, bahkan keberadaanku di rumah saja mama tak pernah mencoba menengok. Jika saat tak ada sedikitpun dan apapun yang bisa ku makan di rumah, aku memaksa makan di warung tak jauh dari rumahku. Tanpa bayar! Karena aku tak diberi uang se-sen pun oleh mama atau papa. 

Aku biarkan untuk kesekian kalinya pemilik warung menelpon Mang Dimang –sopir papa- atau Lala –orang yang mengaku sebagai sekretaris mama-. Ya tentu saja supaya mama atau papa memenuhi hutang-hutang makanku yang terlalu menumpuk. Kalau sudah sampai aku malu tak dibayar, televisi atau kipas angin akan ku jual ke toko elektronik dan uangnya untuk menambal sedikit hutangku. Ah, berantakan sekali! Dan mungkin jika aku bercerita semua tentang kekacauan hidupku, orang yang mendengarnya akan muak sendiri.

Uhh! Aku punya orang tua, lengkap. Tapi aku tak pernah dianggap ada. Beruntunglah, jika Mang Dimang dan Mbok Inah masih diperhatikan untuk diberi gaji tiap bulan, meski yang memberikan –tentu saja- bukan mereka berdua.

Perjalananku di rumah Meta ku akhiri, aku tak bisa merepotkan Mama Meta lebih lanjut. Ku tinggalkan sedikit rasa terima kasih untuk mereka, dan aku melangkah lagi. Bukan untuk kembali ke rumah, ya tentu saja tidak. Aku tak punya tujuan hidup, sama sekali. Tak ada jalan yang bisa kupikirkan untuk ku lalui, melangkah mengikuti gerak kaki yang akan segera letih.

Aku bersandar di bawah pohon kecil tak rindang. Ya ampun, aku mau kemana? Tidak ada pandangan sedikitpun. Menoleh kanan-kiri dan memutar kepala mencari seseorang yang –mungkin- baik hati menampungku sementara waktu. Hahaha, jadi seperti nomaden saja. Menumpang di satu tempat, dan pergi ke tempat lain. Dan sampai sekarang mama atau papa tak mengenali keberadaanku, tak merasa aku telah pergi dari rumah dua minggu lebih. Aduh... mama, papa, aku anak siapa?

Aku berjalan menuju tempat mama bekerja. Aku harus menemui Lala dan meminta uang untuk aku hidup. Mobil mama ada di depan kantor, dan aku harus menunggunya sampai pulang. Saat aku melihat mobil itu berlalu dari tempat parkir, aku masuk ke ruangan mama. Lala sibuk menatap layar dan tangannya bergerak cepat di atas keyboard.

“La, minta uang! Nggak usah di transfer ke ATM, tunai... detik ini gue ambil.”, bentakku pada Lala.
Ia terlihat terkejut namun wajahnya kembali menampakkan kemalasan. Ya, mungkin ia letih melihatku seperti ini.
“Denger nggak si? Gue butuh uang sekarang, nanti tinggal bilang sama Tika.”, aku menggebrak mejanya.
“Bisa sopan nggak? Bu Tika nggak ada di tempat, saya nggak berani.”, jawab Lala sedikit memberontak.
“Auk ah, cepetan. Gue pengen pergi ni.”, aku mulai memakinya dan perdebatan berlanjut sampai sosok mama berada di hadapan kami.

“Feta! Yang sopan sama Lala, dari mana kamu? Nggak sekolah?”, tanya mama melerai.
Aku memutarkan bola mataku dan melempar buku di atas meja Lala.
“Memangnya kamu pernah peduli sama gue?”, ucapku menunjuk diri.
“Feta, ini mama kamu. Gimana mama nggak peduli sama kamu?”
“Hari ini, kemaren, sampai dua minggu yang lalu gue udah nggak sekolah. Dan surat panggilan orang tua udah ada di meja kamu. Tapi kamu nggak pernah pengen tahu. Kamar gue kosong apa kamu tahu? Nggak kan? Nggak usah ngaku-ngaku kamu peduli! Tika, kamu dan suamimu itu nggak pernah tahu tentang gue.”, aku mulai mengungkap semua yang ada di perasaanku selama ini.

“Bu, anak Ibu ini nggak bisa sopan. Manggil ibu saja cuma namanya.”, Lala mencari dukungan dan perhatian mama. Dan hampir saja tangan mama melayang ke pipiku. papa datang dan menariknya.

“Niat gue kesini cuma minta uang untuk hidup gue ke depan. Lama-lama gue tuli di rumah, mati terkapar ditelantarkan orang tua macam kalian.”, aku meraih tas Lala dan mengambil uang di dompetnya. Ya, hanya empat lembar uang lima puluh ribuan yang terjejer rapi.

“Kalian ganti uang Lala. Gue pergi dan nggak bakalan balik ke kapal pecah kalian. Makasih udah ngasih gue tumpangan hidup 16 tahun.”, aku berlalu meninggalkan mereka. Dan mama juga papa tak bergerak sedikitpun mengejarku. Ya ampun, mereka keterlaluan. Aku masih menyimpan sedikit harapan untuk bisa dimengerti oleh mereka. Agggrrrhhh!!!

Singkat cerita, aku mengenal Ami. Sosok berantakan yang misterius, memperhatikanku dan memberi kesempatanku untuk merasakan apa yang tak pernah aku rasakan di rumah. Ya, tentu saja. Hidupku penuh aturan tak jelas dari mama dan papa. Yang kemudian sama sekali tak pernah menghiraukanku. Ami, senasib, seperjuangan, sebangsa, setanah air. Kisahnya keluar dari rumah sebelas-dua belas denganku, bahkan mungkin sebelas koma nol dan sebelas koma satu.

Huh!! Aku berlari mengikuti jejak Ami yang terlihat samar-samar. Aku tak pernah mengenal dunia Ami tapi aku mengikutinya tanpa berpikir dan mencoba memahami. Dan walhasil, aku terpenjara. Aku tertangkap bapak-bapak berseragam yang menggebrek markas Ami dan teman-temannya biasa berkumpul. Aku tak pernah menyentuh barang haram –yang aku tahu- teman-teman Ami gunakan. Ami pun tak pernah melirik ke serbuk-serbuk itu. Tapi beginilah kami, tertimpuk batu yang dilempar ke arah orang lain.

Kalau saja aku mau mengaku aku punya orang tua, aku akan dikembalikan kepada mereka. Dirawat di bawah pengawasan mereka, tapi siapa yang akan menganggap orang tak bertanggung jawab seperti mama dan papa sebagai orang tuanya? Aku pun sama.

“Lebih baik aku menemani Ami.”, ucapku dalam hati. Aku tak bisa membiarkan Ami sendirian di tengah teman-temannya yang menyebabkan dia seperti ini. Aku hanya menelpon seseorang sebelum aku benar-benar terkunci rapat di jeruji ini, Lala.

Aku katakan bahwa aku berada di penjara dan tak perlu mama menjengukku. Mengapa aku sampaikan demikian? Karena aku berharap masih ada sedikit rasa peduli dalam diri mama dan papa. Dan tahukah, sampai sekarang mereka tak sedikitpun menginjakkan kaki di ujung gedung selimut ruangan ini. Entah, apa Lala tak menyampaikan pesanku atau mama yang keterlaluan.

Aaarrrggghhh!!! Aku jenuh disini. Aku ingin keluar –tentu saja- bersama Ami. Tapi siapa yang akan mengambilku? Aku kan sudah tak punya orang yang kuanggap orang tua. Dan jika aku bisa dicabut oleh mama, siapa yang akan membawa Ami keluar bersamaku? Mama... Papa... Feta mohon, bawa kami keluar dari jeruji besi ini, agar kami dapat menari kembali diatas tanah luas tanpa pagar besi, bukan di atas daun ganja yang akan mebuat kami terjatuh.

Tidak ada komentar:

 
Founding Fathers Keran Indonesia | Badan Narkotika Kabupaten Kendal
Add Me On Your Facebook Berlangganan Gratis Artikel Keran Indonesia?